Sabtu, 06 Desember 2008

Menjadi Ibu

Malam ini aku ingin merenungkan sebuah keputusan menjadi full time mom. Bukan ragu atau menyesal; sama sekali tidak. Ya, sekadar menimbang-nimbang bagaimana seandainya kuambil keputusan yang itu bukan yang ini, atau sebaliknya.

Sejujurnya, jauh sebelum menikah—saat suara hati dengan ’gagah’ masih menolak konsep menjadi ibu rumah tangga penuh waktu—tak terlintas di benakku gambaran seorang ibu yang menghabiskan hari di rumah tapi tanpa merasa waktu begitu cepat berlalu. Setelah punya momongan semuanya menjadi sangat kumengerti.

Setelah punya anak tiap hari aku bangun pukul 05.00 dan baru benar-benar istirahat ya...kira-kira pukul 20.00 saat kedua anakku telah tidur. Whuih...panjang juga ya ‘jam kerjaku’ dibanding mereka yang bekerja from nine to five. Bedanya hanya satu, aku selalu mendapat reward di penghujung hari ketika menyaksikan anak-anak tidur dengan wajah innocent. Atau pujian kecil dari anak tertuaku—ia sekarang berusia 3,8 tahun—semisal,’ masakan mommy lezat ya...’ atau ‘Abang Kei sayaang sekali deh sama mommy.’ ‘Oh...so sweet my beloved son...’ Tak ada yang lebih indah dan membahagiakan dibanding reward kecil ini yang meluncur jujur dari bibir mungil anakku.

Suatu hari pernah aku mengintip sebuah forum diskusi kaum ibu di sebuah website majalah khusus pengasuhan anak. Waktu itu mereka mengulas soal kebimbangan seorang ibu yang cuti melahirkannya akan segera berakhir. Jujur ibu itu mengatakan dirinya kerap merasa bersalah saat memikirkan bahwa kalau sudah bekerja kembali dengan sendirinya akan meninggalkan bayi mungilnya di rumah Diskusi pun berakhir tanpa kesimpulan. Kebimbangan itu wajar, menurut aku; karena aku pun pernah mengalaminya. Yang membedakan aku dengan ibu itu adalah ternyata aku tak sanggup melawan kegundahan hati dan memilih luluh menjaga anak-anak di rumah hingga kini. Akhirnya semua dikembalikan pada kondisi dan situasi masing-masing orang.

Banyak yang menganggap pilihan menjadi ibu merupakan kemewahan. Terutama bagi perempuan yang menjadi bagian dari tulang punggung ekonomi keluarga. Menjadi mom-in-chief (meminjam istilah Michelle Obama) di rumah sendiri sering sulit diwujudkan mereka yang terlanjur turut menafkahi keluarga.

Memang secara ekonomi ada konsekuensi yang harus kami tanggung setelah aku benar-benar tidak earn money lagi. Tapi jika dibandingkan dengan kesempatan yang hanya ada sekali dalam hidup, mendampingi anak tumbuh kembang sampai saat mereka cukup mandiri, hal itu menjadi tak seberapa. Entah mengapa aku selalu merasa bahagia sepanjang hari walau kadang lelah secara fisik dan emosi. Eh...nggak mudah lho menjaga dua anak balita tanpa asisten [kami tak menggunakan sebutan ‘pembantu’ atau ‘pembokat’]. Sesekali terlintas dalam pikiran realitas bahwa kami belum punya cukup uang untuk, misalnya, mengajak mereka berlibur ke tempat-tempat eksotik yang ketika aku masih aktif bekerja, rutin kami kunjungi. Aku selalu membesarkan hati. Ah, mungkin kelak aku masih sempat mengajak mereka ke tempat itu. Yang menjadi prioritasku saat ini adalah memenuhi kebutuhan gizi mereka, memperhatikan perkembangan jiwa dan emosinya, serta membanjiri mereka kasih sayang.

Jumat, 29 Agustus 2008

Kopi Luwak (2-habis)

Kopi Luwak (2-habis)
Panen Kopi Luwak!

Belum lama ini (awal Agustus 2008) saya agak kaget ketika seorang narasumber lama (pernah kami wawancarai saat saya masih reporter di koran The Asian Wall Street Journal) menelepon untuk memberitahu bahwa mereka sedang panen kopi luwak. Bapak yang wajahnya pun saya sudah tak ingat lagi ini pejabat perkebunan kopi milik negara (PTPN) di sebuah kota di Jawa Timur. “Apakah Ibu masih tertarik meliput panen kopi luwak?” katanya. Saya jelaskan bahwa saat ini saya tak lagi bekerja. Dia mafhum, buktinya masih terus saja bercerita.

Setelah telepon itu ingatan saya seketika kembali ke masa sekitar 6 tahun lalu waktu kami berkunjung ke perkebunan itu. Kala itu mereka sedang tidak panen sehingga kami pun gagal mencicipi kopi langka tersebut. Sayang sekali...

Kalau tidak sedang panen sulit sekali melihat seperti apa dan bagaimana proses pembuatan kopi luwak. Untuk sekadar membayar rasa penasaran, kami bahkan gagal menemukan seekor luwak pun di sana. Walaupun memang melihat juga ceceran kotoran luwak berbiji kopi di tanah. Karena tak bisa menyaksikan sendiri proses terciptanya kopi luwak saat itu kami pun bergumam, ’Ah...berarti kopi luwak hanya mitos.’ Kami kembali ke Jakarta tanpa bukti. Alhasil artikel yang kami buat dianggap tak layak muat oleh editor.

Kopi luwak langka betul sehingga harganya mahal. Seorang teman di Amerika bilang harga per kilonya di sana jauh lebih mahal dibanding harga emas. Jadi mungkin kopi termahal di dunia. Di AS pembeli utamanya, menurut dia, kebanyakan orang Jepang dan Amerika. Di toko khusus yang menjual ‘kopi langka’ saja mereka bisa memperolehnya.

Sudah begitu lama saya tak mendengar ada kopi luwak yang dipanen. Tak heran kalau telepon pejabat perkebunan tadi kontan mengagetkan saya. Pertanyaan bagaimana mereka bisa panen kopi luwak saya lontarkan ke dia. Jawabnya? Ternyata mereka telah menernakkan luwak sampai ratusan ekor. Aha...! Mengapa baru sekarang itu dilakukan? Toh dulu kami sudah pertanyakan mengapa perkebunan itu tidak menernakkan saja luwak agar bisa menghasilkan kopi luwak kualitas terbaik dalam jumlah besar. Waktu itu jawaban mereka: itu tak dilakukan karena khawatir kawanan luwak akan berkembang biak tak terkendali sehingga sulit mengurusnya jika tidak sedang panen kopi.

Waktu itu mereka sulit memprediksi jumlah kopi luwak yang dapat diproduksi setiap musim panen kopi tiba. “Kopi ini menjadi langka karena produksinya benar-benar bergantung pada jumlah luwak yang memakan kopi saat panen. Luwak ini hidup liar. Datang hanya saat panen. Jadi sulit memperkirakan produksi per tahun. Tapi rata-rata kami dapat memproduksi 200 kilogram kopi luwak dari total area perkebunan sekitar 764 hektar,’ kata pejabat tersebut ketika kami wawancarai sekitar 6 tahun lalu.

Ketakpastian itu yang membuat mereka tak berpikir menjual kopi luwak secara komersil. “Kami suguhkan hanya untuk tamu-tamu khusus, terutama para pejabat perkebunan. Sisanya, sedikit, kami jual ke produsen kopi swasta di Jawa untuk digunakan sebagai essense kopi yang akan mereka produksi.”

Kopi luwak ini sempat membuat penasaran kawan Amerika saya tadi. Ia ingin tahu seluruh proses sampai kopi luwak terwujud. Ini mencakup bagaimana kopi mulai ditanam sampai buahnya dipetik, bagaimana luwak mengkonsumsinya, seperti apa habitat hewan ini di sana, cara perkebunan dan penduduk lokal mendapatkan biji-biji kopi dari luwak, proses produksi biji kopi ‘spesial’ itu, hingga proses akhir yaitu packaging dan delivery. Semakin banyak informasi yang ia dapat di internet tentang kopi yang satu ini kian penasaran dia.

Luwak-luwak hanya memakan kopi yang matangnya betul-betul pas, kata seorang kepala kebun saat menemani kami mencari-cari kotoran luwak berbiji kopi, waktu itu. Memang yang saya saksikan di kotoran luwak saat itu adalah biji kopi yang sudah matang betul (berwarna amat merah).

Kopi luwak, menurut mitos yang berkembang di Indonesia, dapat meningkatkan vitalitas. Rasanya sendiri, kata orang yang pernah menyeruput, unik. Artinya, tak dapat ditemukan pada kopi jenis mana pun. Tak mengherankan tentunya. Toh ia dari biji kopi yang telah dicerna di perut luwak. Anda ingin mencoba rasanya? Silakan saja. Agar tak menunda-nunda, sebaiknya tak perlu dengan banyak pertimbangan seperti para penikmat kopi di Amerika. Mereka sampai sekarang, misalnya, masih saja memperdebatkan apakah cukup higenis mengkonsumsi kopi yang notabene berasal dari (biji kopi) kotoran binatang.

Kamis, 10 Juli 2008

Tentang Saya

Saya, Rin Hindryati P, saat ini full-time mom, sesuatu yang telah saya jalani selama kurang lebih 3,5 tahun. Sebelumnya saya reporter; terakhir bekerja untuk the Asian Wall Street Journal biro Jakarta. Dunia jurnalistik telah saya geluti sejak masih kuliah di Universitas Nasional, Jakarta. Kala itu saya tercatat sebagai mahasiswa angkatan 1986 jurusan Ilmu Politik, program studi hubungan internasional.

Saya pernah bekerja di majalah berita ekonomi mingguan Prospek, di majalah berbahasa Inggris Indonesia Business Weekly (milik harian Bisnis Indonesia), di harian Bisnis Indonesia dan di kantor berita AP-Dow Jones, biro Jakarta. Ketika masih reporter di AP-Dow Jones, saya mendapat tawaran beasiswa sekolah ke Otago University di New Zealand untuk program post-graduate diploma. Selesai, saya kembali ke Indonesia awal 1998. Sejak saat itu pula saya bergabung dengan The Asian Wall Street Journal sampai saat hari H ketika hendak melahirkan anak pertama kami (yang kami namai Karl Bonardo Ananta Marxada Sirait, panggilannya Kei) pada 16 Maret 2005.

Sejak hari pertama Kei lahir saya hampir menjadi full time mom. Setelah adiknya, Clausewitz ‘Che’ Doli Nalagu Sirait, lahir pada 9 Agustus 2007, praktis sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga.

Keputusan memilih sebagai full time mom bukan perkara yang mudah. Pekerjaan sebagai reporter telah saya geluti lama dan saya benar-benar menikmatinya. Bahkan setelah menikah (2003) pun saya masih sering pergi ke berbagai daerah untuk liputan atau kerap pulang larut karena tuntutan pekerjaan. Beruntung suami (P. Hasudungan Sirait, wartawan) amat mengerti ritme pekerjaan ini.

Tiga bulan setelah melahirkan datang telepon dari kantor The Asian Wall Street Journal memastikan apakah saya sudah siap kembali bekerja. Namun, saat itu kok sulit rasanya meninggalkan Kei sendiri di rumah. Saya pun meminta perpanjangan cuti di luar tanggungan sampai enam bulan ke depan. Saat cuti habis ternyata makin sulit saya berpisah dengan Abang Kei. Makin lama ternyata makin lengket saja kami. Akhirnya saya putuskan untuk stay at home for a while.

Keputusan ini saya ambil karena pada dasarnya saya tak sanggup membagi waktu dan perasaan antara pekerjaan dan anak-anak. Tidak fair rasanya kalau memaksa bekerja sementara pikiran tetap pada anak-anak. Saya dan suami memang memutuskan untuk mengurus sendiri keperluan anak-anak setidaknya sampai melewati masa the golden age. Dan selanjutnya dapat ditebak, saya pun memutuskan memilih mengurus mereka sampai kelak mereka bisa lebih mandiri.

Rabu, 09 Juli 2008

Kopi Luwak, Mitos atau Nyata

Suatu hari seorang teman di Amerika tiba-tiba mengirim email. Dengan sangat antusias ia bertanya,'benarkah ada kopi di Indonesia yang dibuat dari biji kotoran musang?' Adik laki-lakinya saat itu sedang merinis bisnis warung kopi dan es krim di Kanada. Sudah lama katanya ia mendengar mitos kopi jenis ini. Ya, Kopi Luwak itu namanya.

Ketika mendapat email itu saya belum bertemu Pak Lastowo, seorang ADM di perkebunan kopi yang ada di Banyuwangi, Jawa Timur. Kepada teman tersebut saya katakan, itu hanya mitos walaupun label 'Kopi Luwak' sudah dipakai oleh produsen kopi lokal di Semarang, Jawa Tengah. Belakangan saya ketahui mereka sesungguhnya hanya menggunakan sedikit saja ekstrak the real kopi luwak sebelum kemudian mencampurnya dengan biji kopi biasa.

Kemudian saya berkesempatan mengunjungi perkebunan kopi di Banyuwangi pada pertengahan 2002 silam. Dari Pak Lastowo saya ketahui bahwa kopi luwak bukan mitos tapi nyata adanya. 'Kopi yang berasal dari kotoran luwak adalah kualitas yang terbaik karena luwak hanya makan biji kopi yang betul-betul matang. Ketika biji-biji ini keluar sebagai kotoran luwak ia masih dalam keadaan tertutup dan kering. Jadi tetap aman untuk dikonsumsi,' katanya meyakinkan. Iapun menambahkan kopi Luwak ini hanya dihidangkan kepada tamu tertentu misalnya bos perkebunan di sini. Alasannya sederhana saja: jumlahnya amat terbatas dan rasanya sungguh nikmat. Terbatas karena jumlah luwak mulai berkurang.