Kopi Luwak (2-habis)
Panen Kopi Luwak!
Belum lama ini (awal Agustus 2008) saya agak kaget ketika seorang narasumber lama (pernah kami wawancarai saat saya masih reporter di koran The Asian Wall Street Journal) menelepon untuk memberitahu bahwa mereka sedang panen kopi luwak. Bapak yang wajahnya pun saya sudah tak ingat lagi ini pejabat perkebunan kopi milik negara (PTPN) di sebuah kota di Jawa Timur. “Apakah Ibu masih tertarik meliput panen kopi luwak?” katanya. Saya jelaskan bahwa saat ini saya tak lagi bekerja. Dia mafhum, buktinya masih terus saja bercerita.
Setelah telepon itu ingatan saya seketika kembali ke masa sekitar 6 tahun lalu waktu kami berkunjung ke perkebunan itu. Kala itu mereka sedang tidak panen sehingga kami pun gagal mencicipi kopi langka tersebut. Sayang sekali...
Kalau tidak sedang panen sulit sekali melihat seperti apa dan bagaimana proses pembuatan kopi luwak. Untuk sekadar membayar rasa penasaran, kami bahkan gagal menemukan seekor luwak pun di sana. Walaupun memang melihat juga ceceran kotoran luwak berbiji kopi di tanah. Karena tak bisa menyaksikan sendiri proses terciptanya kopi luwak saat itu kami pun bergumam, ’Ah...berarti kopi luwak hanya mitos.’ Kami kembali ke Jakarta tanpa bukti. Alhasil artikel yang kami buat dianggap tak layak muat oleh editor.
Kopi luwak langka betul sehingga harganya mahal. Seorang teman di Amerika bilang harga per kilonya di sana jauh lebih mahal dibanding harga emas. Jadi mungkin kopi termahal di dunia. Di AS pembeli utamanya, menurut dia, kebanyakan orang Jepang dan Amerika. Di toko khusus yang menjual ‘kopi langka’ saja mereka bisa memperolehnya.
Sudah begitu lama saya tak mendengar ada kopi luwak yang dipanen. Tak heran kalau telepon pejabat perkebunan tadi kontan mengagetkan saya. Pertanyaan bagaimana mereka bisa panen kopi luwak saya lontarkan ke dia. Jawabnya? Ternyata mereka telah menernakkan luwak sampai ratusan ekor. Aha...! Mengapa baru sekarang itu dilakukan? Toh dulu kami sudah pertanyakan mengapa perkebunan itu tidak menernakkan saja luwak agar bisa menghasilkan kopi luwak kualitas terbaik dalam jumlah besar. Waktu itu jawaban mereka: itu tak dilakukan karena khawatir kawanan luwak akan berkembang biak tak terkendali sehingga sulit mengurusnya jika tidak sedang panen kopi.
Waktu itu mereka sulit memprediksi jumlah kopi luwak yang dapat diproduksi setiap musim panen kopi tiba. “Kopi ini menjadi langka karena produksinya benar-benar bergantung pada jumlah luwak yang memakan kopi saat panen. Luwak ini hidup liar. Datang hanya saat panen. Jadi sulit memperkirakan produksi per tahun. Tapi rata-rata kami dapat memproduksi 200 kilogram kopi luwak dari total area perkebunan sekitar 764 hektar,’ kata pejabat tersebut ketika kami wawancarai sekitar 6 tahun lalu.
Ketakpastian itu yang membuat mereka tak berpikir menjual kopi luwak secara komersil. “Kami suguhkan hanya untuk tamu-tamu khusus, terutama para pejabat perkebunan. Sisanya, sedikit, kami jual ke produsen kopi swasta di Jawa untuk digunakan sebagai essense kopi yang akan mereka produksi.”
Kopi luwak ini sempat membuat penasaran kawan Amerika saya tadi. Ia ingin tahu seluruh proses sampai kopi luwak terwujud. Ini mencakup bagaimana kopi mulai ditanam sampai buahnya dipetik, bagaimana luwak mengkonsumsinya, seperti apa habitat hewan ini di sana, cara perkebunan dan penduduk lokal mendapatkan biji-biji kopi dari luwak, proses produksi biji kopi ‘spesial’ itu, hingga proses akhir yaitu packaging dan delivery. Semakin banyak informasi yang ia dapat di internet tentang kopi yang satu ini kian penasaran dia.
Luwak-luwak hanya memakan kopi yang matangnya betul-betul pas, kata seorang kepala kebun saat menemani kami mencari-cari kotoran luwak berbiji kopi, waktu itu. Memang yang saya saksikan di kotoran luwak saat itu adalah biji kopi yang sudah matang betul (berwarna amat merah).
Kopi luwak, menurut mitos yang berkembang di Indonesia, dapat meningkatkan vitalitas. Rasanya sendiri, kata orang yang pernah menyeruput, unik. Artinya, tak dapat ditemukan pada kopi jenis mana pun. Tak mengherankan tentunya. Toh ia dari biji kopi yang telah dicerna di perut luwak. Anda ingin mencoba rasanya? Silakan saja. Agar tak menunda-nunda, sebaiknya tak perlu dengan banyak pertimbangan seperti para penikmat kopi di Amerika. Mereka sampai sekarang, misalnya, masih saja memperdebatkan apakah cukup higenis mengkonsumsi kopi yang notabene berasal dari (biji kopi) kotoran binatang.
Panen Kopi Luwak!
Belum lama ini (awal Agustus 2008) saya agak kaget ketika seorang narasumber lama (pernah kami wawancarai saat saya masih reporter di koran The Asian Wall Street Journal) menelepon untuk memberitahu bahwa mereka sedang panen kopi luwak. Bapak yang wajahnya pun saya sudah tak ingat lagi ini pejabat perkebunan kopi milik negara (PTPN) di sebuah kota di Jawa Timur. “Apakah Ibu masih tertarik meliput panen kopi luwak?” katanya. Saya jelaskan bahwa saat ini saya tak lagi bekerja. Dia mafhum, buktinya masih terus saja bercerita.
Setelah telepon itu ingatan saya seketika kembali ke masa sekitar 6 tahun lalu waktu kami berkunjung ke perkebunan itu. Kala itu mereka sedang tidak panen sehingga kami pun gagal mencicipi kopi langka tersebut. Sayang sekali...
Kalau tidak sedang panen sulit sekali melihat seperti apa dan bagaimana proses pembuatan kopi luwak. Untuk sekadar membayar rasa penasaran, kami bahkan gagal menemukan seekor luwak pun di sana. Walaupun memang melihat juga ceceran kotoran luwak berbiji kopi di tanah. Karena tak bisa menyaksikan sendiri proses terciptanya kopi luwak saat itu kami pun bergumam, ’Ah...berarti kopi luwak hanya mitos.’ Kami kembali ke Jakarta tanpa bukti. Alhasil artikel yang kami buat dianggap tak layak muat oleh editor.
Kopi luwak langka betul sehingga harganya mahal. Seorang teman di Amerika bilang harga per kilonya di sana jauh lebih mahal dibanding harga emas. Jadi mungkin kopi termahal di dunia. Di AS pembeli utamanya, menurut dia, kebanyakan orang Jepang dan Amerika. Di toko khusus yang menjual ‘kopi langka’ saja mereka bisa memperolehnya.
Sudah begitu lama saya tak mendengar ada kopi luwak yang dipanen. Tak heran kalau telepon pejabat perkebunan tadi kontan mengagetkan saya. Pertanyaan bagaimana mereka bisa panen kopi luwak saya lontarkan ke dia. Jawabnya? Ternyata mereka telah menernakkan luwak sampai ratusan ekor. Aha...! Mengapa baru sekarang itu dilakukan? Toh dulu kami sudah pertanyakan mengapa perkebunan itu tidak menernakkan saja luwak agar bisa menghasilkan kopi luwak kualitas terbaik dalam jumlah besar. Waktu itu jawaban mereka: itu tak dilakukan karena khawatir kawanan luwak akan berkembang biak tak terkendali sehingga sulit mengurusnya jika tidak sedang panen kopi.
Waktu itu mereka sulit memprediksi jumlah kopi luwak yang dapat diproduksi setiap musim panen kopi tiba. “Kopi ini menjadi langka karena produksinya benar-benar bergantung pada jumlah luwak yang memakan kopi saat panen. Luwak ini hidup liar. Datang hanya saat panen. Jadi sulit memperkirakan produksi per tahun. Tapi rata-rata kami dapat memproduksi 200 kilogram kopi luwak dari total area perkebunan sekitar 764 hektar,’ kata pejabat tersebut ketika kami wawancarai sekitar 6 tahun lalu.
Ketakpastian itu yang membuat mereka tak berpikir menjual kopi luwak secara komersil. “Kami suguhkan hanya untuk tamu-tamu khusus, terutama para pejabat perkebunan. Sisanya, sedikit, kami jual ke produsen kopi swasta di Jawa untuk digunakan sebagai essense kopi yang akan mereka produksi.”
Kopi luwak ini sempat membuat penasaran kawan Amerika saya tadi. Ia ingin tahu seluruh proses sampai kopi luwak terwujud. Ini mencakup bagaimana kopi mulai ditanam sampai buahnya dipetik, bagaimana luwak mengkonsumsinya, seperti apa habitat hewan ini di sana, cara perkebunan dan penduduk lokal mendapatkan biji-biji kopi dari luwak, proses produksi biji kopi ‘spesial’ itu, hingga proses akhir yaitu packaging dan delivery. Semakin banyak informasi yang ia dapat di internet tentang kopi yang satu ini kian penasaran dia.
Luwak-luwak hanya memakan kopi yang matangnya betul-betul pas, kata seorang kepala kebun saat menemani kami mencari-cari kotoran luwak berbiji kopi, waktu itu. Memang yang saya saksikan di kotoran luwak saat itu adalah biji kopi yang sudah matang betul (berwarna amat merah).
Kopi luwak, menurut mitos yang berkembang di Indonesia, dapat meningkatkan vitalitas. Rasanya sendiri, kata orang yang pernah menyeruput, unik. Artinya, tak dapat ditemukan pada kopi jenis mana pun. Tak mengherankan tentunya. Toh ia dari biji kopi yang telah dicerna di perut luwak. Anda ingin mencoba rasanya? Silakan saja. Agar tak menunda-nunda, sebaiknya tak perlu dengan banyak pertimbangan seperti para penikmat kopi di Amerika. Mereka sampai sekarang, misalnya, masih saja memperdebatkan apakah cukup higenis mengkonsumsi kopi yang notabene berasal dari (biji kopi) kotoran binatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar