Rabu, 01 Juni 2011

PRAM MELAWAN

PRAM MELAWAN

Pramoedya Ananta Toer tak syak lagi adalah penulis terbesar yang pernah dilahirkan Indonesia. Novelnya telah diterjemahkan setidaknya ke 38 bahasa. Beroleh Freedom to Write Award (PEN), Ramon Magsaysay Award, New York Foundation for the Arts Award, UNESCO Madanjeet Singh Prize, dan Fukuoka Cultural Grand Prize, dia, sebelum tutup usia (pada 30 April 2006) untuk kesekian kali masih dijagokan sebagai Nobelis sastra. Kalau saja Nobel ia raih niscaya keempuannya di jalur sastra paripurna sudah di mata dunia.

Dengan segala pencapaiannya yang luar biasa lumrah kalau Pram dan karyanya acap menjadi objek telaah selama ini. Penelaahnya? Termasuk akademisi internasional. Yang mempersiapkan disertasi, misalnya, seperti Savitri Scherer. Jadi, dunia kreatif sastrawan kelahiran Blora ini sudah cukup terkuak. Apalagi penerima Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan (1999) ini banyak pula menulis ihwal dirinya. Bahkan sebagian karyanya berlatarkan kosmologi dirinya. Cerita dari Blora dan Bukan Pasar Malam, misalnya.

Begitupun, masih banyak sisi dalaman diri Pram yang belum terungkap selama ini. Itu akan terlihat jelas kalau kita membaca kitab Pram Melawan bertebal 537 halaman ini. Lewat pendekatan jurnalistik yang standar—yakni wawancara yang intens pada periode 2001-2005, riset data, dan observasi [yang terakhir ini dilakukan penulis antara lain dengan mengamati jagat masa kecil Pram di Blora saat mereka berkesempatan tinggal serumah hampir sepekan dengan sang penulis tetralogi P. Buru tersebut di sana] deposit yang sangat bernilai pun bisa muncul di permukaan. Wujudnya adalah kisah-kisah dalaman Pram tak terkecuali yang sangat personal. Tak hanya soal seks, Pram juga mengungkapkan penyikapan dirinya ihwal agama, keluarga, PKI, Lekra, Manikebu, realisme sosialis, dan nestapa di Pulau Buru. Juga tentang Soeharto, javanisme, korupsi, Angkatan Darat, Cina, atau perlawanan tak berkesudahan dari orang Aceh dan Papua. Yang tak kalah menarik tentunya adalah ihwal proses kreatifnya, mencakup apa saja yang ia lakukan kalau hendak menghasilkan sebuah karya. Yang satu ini ia paparkan secara detil dan gamblang. Menjadi semacam how to, jadinya. Hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Punya pengetahuan ensiklopedis, itulah Pram. Selain sastra, ternyata jagat pengetahuan lelaki yang hanya bersekolah sampai kelas 2 SMP ini kaya, dengan rentang yang melingkupi politik, sejarah, sosiologi, antropologi, serta yang lain yang berkonteks Indonesia. Kekayaan tersebut menyembul betul dalam kitab ini. Nalar Pram lurus dan kuat. Lihatlah, misalnya, bagaimana dia tatkala menjelaskan mengapa Indonesia kian terpuruk akibat korupsi. ”Korupsi itu sudah budaya Indonesia. Dulu namanya upeti, sekarang korupsi. Korupsi itu sumbernya karena Indonesia nggak terdidik untuk berproduksi, hanya berkonsumsi. Pengalaman berproduksi itu yang membikin orang mempunyai karakter. Tanpa pengalaman produksi, dalam kesulitan pasti korupsi. Pasti. Itu jalannya. Ya, mengubah bangsa ini dari watak konsumtif menjadi produktif. Baru beres,” ucap dia (hal. 358). Membaca buku ini akan memudahkan kita mengerti ihwal duduk perkara Indonesia yang masih saja berkubang di lumpur masalah multidimensi.

Jelas, ini adalah buku tuturan Pram tentang kosmologinya yang paling komprehensif. Tak heran mengapa bisa demikian. Pasalnya, penggalian ceritanya sampai bertahun-tahun oleh sebuah tim yang dua anggotanya jurnalis berpengalaman dan seorang lagi salah satu pentolan gerakan mahasiswa 1998 yang menumbangkan Soeharto. Jauh dari sekadar turistik cara mereka menggali informasi.







Tentang penulis
P. Hasudungan Sirait
Latar belakang pekerjaannya wartawan. Sebagai jurnalis ia pernah bekerja di Bisnis Indonesia, Neraca, dan majalah D&R. Belakangan ia juga mengurusi majalah komunitas bernama Tatap. Menjadi trainer (jurnalistik dan menulis), penulis, dan editor menjadi pekerjaan lain dari lulusan jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Padjadjaran Bandung, ini. Sebagai trainer, pengajar di sekolah menulis Writer Schoolen (Jakarta) ini acap melawat ke belahan timur dan barat Indonesia.

Rin Hindryati Purwaningsih
Ia mengenal dunia jurnalistik sewaktu masih di kampus. Saat mengerjakan skripsi di program studi Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Nasional (Unas), Jakarta ia bergabung dengan majalah Teknologi dan (kemudian) majalah bisnis Prospek yang baru terbit. Setelah itu ia sempat menjadi reporter di majalah Indonesia Business Weekly, koran Bisnis Indonesia, kantor berita AP-Dow Jones biro Jakarta, dan suratkabar The Asian Wall Street Journal (ASWJ) biro Jakarta (sampai 2005). Selain itu ia pernah bekerja paruh waktu untuk sejumlah media asing (televisi dan cetak), termasuk TV5 (Perancis), Channel 9 (Australia), majalah Fortune, dan majalah Asian Affair (Hong Kong). Prestasinya sebagai jurnalis menjanjikan. Bersama tim reporter The Asian Wall Street Journal ia mendapat SOPA (the Society of Pulishers in Asia) 2005 Awards for Editorial Excellence untuk liputan Tsunami Aceh. Lalu, lulusan program postgraduate diploma, Political Studies, Otago University, Dunedin, New Zealand ini, bersama Eric Ellis, mendapat Weakley Award untuk reportase ihwal Islam garis keras di Indonesia. Liputan tersebut dimuat di majalah The Bulletin (Australia).

Selain menjadi wartawan, ibu dari Kei dan Che ini juga menggeluti dunia penerjemahan. Dia, bersama P. Hasudungan Sirait, menerjemahkan buku The Representations of the Intellectual (Edward W. Said, diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, 1998), Che Guevara: Motorcycle Diary (Yayasan Jurnalis Independen, tahun 2000), dan Hannah Arendt-Martin Heidegger (Elzbieta Ettinger, Penerbit Nalar, tahun 2005).

Rheinhardt Sirait
Sewaktu demontrasi mahasiswa marak di pelbagai menyusul krisis moneter di penghujung 1997 ia menjadi salah satu pentolan kelompok Keluarga Besar Universitas Indonesia (KB-UI). Turun ke jalan menentang rezim Soeharto acap ia lakukan bersama kawan-kawannya. Dengan alasan agar lebih ekspresif, ia lantas berganti panji dari KB-UI ke Liga Mahasiswa untuk Demokrasi (LMND). Sejarah mencatat, bersama Forkot dan beberapa organisasi mahasiswa yang lain, LMND menjadi hard liner di masa reformasi itu. Pada periode 2001-2003 ia menjadi pimpinan nasional LMND.

Tahun 2002 dia lulus ujian skripsi di Jurusan Ilmu Politik, FISIP UI. Skripsi itu berjudul Gagasan Revolusi dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer. September 2004 ia bertolak ke Belanda untuk mengambil program master of arts di Institute of Social Studies (ISS), Den Haag. Lulus, ia pulang ke Indonesia tahun 2006. Setelah sekitar dua tahun bekerja di Aceh, ia pindah ke Thailand selatan. Di sana ia menjadi dosen Regional Studies Program, School of Liberal Arts, Walailak University, Nakhon Si Thammarat.

1 komentar:

Subowo. mengatakan...

Berikut ini kami muat kembali "Surat Pembaca" bantahan dari pihak keluarga Joesoef Isak yang dimuat Tempo Online, 07 Juni 2010 terhadap tuduhan miring terhadap Joesoef Isak oleh pihak tertentu dalam artikel Tempo 26 April 2010 "Memilih Berpisah".

Tulisan Menyesatkan

Kami gusar terhadap tulisan Tempo edisi 26 April-2Mei 2010 berjudul "Memilih Berpisah" berkaitan dengan Hasta Mitra. Dalam tulisan itu diterangkan soal almarhum Joesoef Isak yang memotong honorarium almarhum Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut, "... Lambat-laun Pramoedya merasa ada yang janggal karena kerap kali honorariumnya dipotong tanpa alasan." Masih dalam satu nada, Tempo menyebutkan, Joesoef juga telah melakukan pembajakan hasil karya Pramoedya. "... dengan cara menggelembungkan jumlah cetakan buku yang dilakukan atas dasar perintah cetak Joesoef itu membuatnya (Pramoedya) kecewa."

Keberatan kami adalah Tempo telah tidak proporsional mengulas hal yang belum jelas juntrungannya, tanpa mengkonfirmasi sumber independen dan melakukan penyelidikan menyeluruh. Kami menganggap Tempo menyebarkan fitnah mengenai almarhum Joesoef Isak. Informasi yang kami kumpulkan dari berbagai pihak, termasuk para mantan anggota organisasi seniman sebelum 1965-terutama dari mereka yang dalam kategori nonsahabat atau kenal almarhum secara biasa-biasa saja-bertolak belakang dengan apa yang ditulis Tempo. Informasi tersebut mencakup bukan hanya berkaitan dengan kisruh pembajakan, melainkan juga royalti penulis di dalam dan luar negeri pada awal 1980-an ketika Hasta Mitra mulai berdiri hingga pasca-Orde Baru, awal 2000-an.

Menurut kami, apa yang disebut perselisihan di tubuh Hasta Mitra adalah hal jamak yang terjadi dalam sebuah perusahaan. Andai memang perselisihan di antara ketiga pendiri Hasta Mitra-Pramoedya, Joesoef, dan Hasjim Rachman-ada, kami ingin mengingatkan bahwa mereka bertiga sudah bekerja dengan baik menjawab tantangan pada zamannya.

Subowo
Desantara
Lutfi Yusuf