Saya, Rin Hindryati P, saat ini full-time mom, sesuatu yang telah saya jalani selama kurang lebih 3,5 tahun. Sebelumnya saya reporter; terakhir bekerja untuk the Asian Wall Street Journal biro Jakarta. Dunia jurnalistik telah saya geluti sejak masih kuliah di Universitas Nasional, Jakarta. Kala itu saya tercatat sebagai mahasiswa angkatan 1986 jurusan Ilmu Politik, program studi hubungan internasional.
Saya pernah bekerja di majalah berita ekonomi mingguan Prospek, di majalah berbahasa Inggris Indonesia Business Weekly (milik harian Bisnis Indonesia), di harian Bisnis Indonesia dan di kantor berita AP-Dow Jones, biro Jakarta. Ketika masih reporter di AP-Dow Jones, saya mendapat tawaran beasiswa sekolah ke Otago University di New Zealand untuk program post-graduate diploma. Selesai, saya kembali ke Indonesia awal 1998. Sejak saat itu pula saya bergabung dengan The Asian Wall Street Journal sampai saat hari H ketika hendak melahirkan anak pertama kami (yang kami namai Karl Bonardo Ananta Marxada Sirait, panggilannya Kei) pada 16 Maret 2005.
Sejak hari pertama Kei lahir saya hampir menjadi full time mom. Setelah adiknya, Clausewitz ‘Che’ Doli Nalagu Sirait, lahir pada 9 Agustus 2007, praktis sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga.
Keputusan memilih sebagai full time mom bukan perkara yang mudah. Pekerjaan sebagai reporter telah saya geluti lama dan saya benar-benar menikmatinya. Bahkan setelah menikah (2003) pun saya masih sering pergi ke berbagai daerah untuk liputan atau kerap pulang larut karena tuntutan pekerjaan. Beruntung suami (P. Hasudungan Sirait, wartawan) amat mengerti ritme pekerjaan ini.
Tiga bulan setelah melahirkan datang telepon dari kantor The Asian Wall Street Journal memastikan apakah saya sudah siap kembali bekerja. Namun, saat itu kok sulit rasanya meninggalkan Kei sendiri di rumah. Saya pun meminta perpanjangan cuti di luar tanggungan sampai enam bulan ke depan. Saat cuti habis ternyata makin sulit saya berpisah dengan Abang Kei. Makin lama ternyata makin lengket saja kami. Akhirnya saya putuskan untuk stay at home for a while.
Keputusan ini saya ambil karena pada dasarnya saya tak sanggup membagi waktu dan perasaan antara pekerjaan dan anak-anak. Tidak fair rasanya kalau memaksa bekerja sementara pikiran tetap pada anak-anak. Saya dan suami memang memutuskan untuk mengurus sendiri keperluan anak-anak setidaknya sampai melewati masa the golden age. Dan selanjutnya dapat ditebak, saya pun memutuskan memilih mengurus mereka sampai kelak mereka bisa lebih mandiri.
Kamis, 10 Juli 2008
Rabu, 09 Juli 2008
Kopi Luwak, Mitos atau Nyata
Suatu hari seorang teman di Amerika tiba-tiba mengirim email. Dengan sangat antusias ia bertanya,'benarkah ada kopi di Indonesia yang dibuat dari biji kotoran musang?' Adik laki-lakinya saat itu sedang merinis bisnis warung kopi dan es krim di Kanada. Sudah lama katanya ia mendengar mitos kopi jenis ini. Ya, Kopi Luwak itu namanya.
Ketika mendapat email itu saya belum bertemu Pak Lastowo, seorang ADM di perkebunan kopi yang ada di Banyuwangi, Jawa Timur. Kepada teman tersebut saya katakan, itu hanya mitos walaupun label 'Kopi Luwak' sudah dipakai oleh produsen kopi lokal di Semarang, Jawa Tengah. Belakangan saya ketahui mereka sesungguhnya hanya menggunakan sedikit saja ekstrak the real kopi luwak sebelum kemudian mencampurnya dengan biji kopi biasa.
Kemudian saya berkesempatan mengunjungi perkebunan kopi di Banyuwangi pada pertengahan 2002 silam. Dari Pak Lastowo saya ketahui bahwa kopi luwak bukan mitos tapi nyata adanya. 'Kopi yang berasal dari kotoran luwak adalah kualitas yang terbaik karena luwak hanya makan biji kopi yang betul-betul matang. Ketika biji-biji ini keluar sebagai kotoran luwak ia masih dalam keadaan tertutup dan kering. Jadi tetap aman untuk dikonsumsi,' katanya meyakinkan. Iapun menambahkan kopi Luwak ini hanya dihidangkan kepada tamu tertentu misalnya bos perkebunan di sini. Alasannya sederhana saja: jumlahnya amat terbatas dan rasanya sungguh nikmat. Terbatas karena jumlah luwak mulai berkurang.
Ketika mendapat email itu saya belum bertemu Pak Lastowo, seorang ADM di perkebunan kopi yang ada di Banyuwangi, Jawa Timur. Kepada teman tersebut saya katakan, itu hanya mitos walaupun label 'Kopi Luwak' sudah dipakai oleh produsen kopi lokal di Semarang, Jawa Tengah. Belakangan saya ketahui mereka sesungguhnya hanya menggunakan sedikit saja ekstrak the real kopi luwak sebelum kemudian mencampurnya dengan biji kopi biasa.
Kemudian saya berkesempatan mengunjungi perkebunan kopi di Banyuwangi pada pertengahan 2002 silam. Dari Pak Lastowo saya ketahui bahwa kopi luwak bukan mitos tapi nyata adanya. 'Kopi yang berasal dari kotoran luwak adalah kualitas yang terbaik karena luwak hanya makan biji kopi yang betul-betul matang. Ketika biji-biji ini keluar sebagai kotoran luwak ia masih dalam keadaan tertutup dan kering. Jadi tetap aman untuk dikonsumsi,' katanya meyakinkan. Iapun menambahkan kopi Luwak ini hanya dihidangkan kepada tamu tertentu misalnya bos perkebunan di sini. Alasannya sederhana saja: jumlahnya amat terbatas dan rasanya sungguh nikmat. Terbatas karena jumlah luwak mulai berkurang.
Langganan:
Postingan (Atom)